Perlunya Variasi Donasi kala Pandemi


Gambar oleh Thewet Nonthachai dari Pixabay
8 Mei 2020
Dibaca normal 8 menit 57 detik.
Kedatangan pandemi Covid-19 mengguncang kehidupan kita. Segala aspek kehidupan kita berubah total semenjak pandemi ini memakan banyak korban jiwa. Mulai dari pekerjaan, pendidikan, dan ibadah.
Dampak wabah ini pun membuat banyak masyarakat yang dirumahkan dari pekerjaannya, bahkan ada yang terkena PHK. Kebanyakan yang mengalami hal ini adalah para buruh harian, tetapi ada juga buruh pabrik yang bernasib sama.
Mengutip dari CNN Indonesia, Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan, B Satrio Lelono, mencatat jumlah pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan mencapai 2,8 juta jiwa. “Bisa lebih dan akan terus bertambah," ujarnya dalam video conference pada Senin lalu (13/4/2020).
Tak hanya itu, beberapa golongan masyarakat ada yang masih harus bekerja di luar rumah di tengah pandemi sekarang ini. Alasannya sederhana: kalo ga kerja, ga dapat uang.
Pemerintah tentu saja tak tinggal diam. Sejak beberapa minggu lalu, pemerintah mulai melakukan realokasi APBN untuk menghadapi pandemi Covid-19. Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah pun ikut serta menata ulang dana belanjanya. Salah satu pengeluaran yang menjadi poin penting dalam realokasi tersebut adalah pengadaan jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang terdampak Covid-19.
Tak hanya pemerintah, beberapa kalangan warga juga berinisiatif untuk menggalang donasi. Mulai dari swasta, lembaga swadaya masyarakat, yayasan, dan kalangan mahasiswa.
Bicara soal kalangan mahasiswa, akhir-akhir ini BEM almamater kampus saya menggelar donasi untuk petugas yang bekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitar kampus Kanayakan. Pengumuman akan gelaran tersebut sudah tersebar melalui media sosial mereka.
Adapun bentuk donasi yang telah terkumpul akan dikonversi menjadi keperluan sembako, mulai dari beras, minyak goreng, gula, dan teh. Bantuan tersebut tentu saja bisa meringankan pengeluaran masyarakat yang tempat mencari nafkahnya terdampak Covid-19.
Apalagi gula pasir, yang harganya saat ini di pasaran bisa melebihi harga eceran tertinggi (HET). Saya mengamati, akhir-akhir ini keberadaan bahan tersebut menjadi langka di minimarket.
Sampai kemudian, saya membaca opini teman saya soal bentuk donasi tersebut. Dia mengamati, hampir semua donasi yang diberikan oleh lembaga pemerintah, swasta, swadaya masyarakat, atau yayasan terkemuka akhir-akhir ini, dikonversi dalam bentuk sembako. Hampir semuanya. Walau ada juga yang mengubahnya dalam bentuk lain, salah satunya uang tunai.
Bahkan teman saya menyebut: 9 dari 10 penggalangan dan penyaluran bantuan oleh lembaga manapun, yayasan manapun dan swadaya masyarakat manapun, kebanyakan isi sumbangannya berupa sembako. Benarkah begitu?
Untuk membuktikannya, saya mengamati beberapa kegiatan donasi yang ada di Kitabisa.com serta dari beberapa media sosial yang saya ikuti. Donasi yang saya amati adalah donasi yang targetnya adalah masyarakat akar rumput yang terdampak Covid-19. Berikut ini adalah hasil amatan saya:
  • 1 kegiatan donasi belum diketahui akan mengubah hasil bantuannya ke dalam bentuk apa. Dalam deskripsinya hanya dituliskan “berupa paket lebaran” (link
  • 7 kegiatan donasi melakukan variasi terhadap hasil bantuan yang diperoleh. Ada yang berupa pupuk untuk petani, alat pelindung diri (APD), paket makanan, atau uang tunai. (link 1, link 2, link 3, link 4, link 5, link 6, link 7
  • 1 kegiatan donasi mengubah hasil bantuan menjadi paket makanan untuk nelayan yang terdampak Covid-19 (link)
Kembali ke opini teman saya. Dia merasa ada hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh pihak yang hendak memberikan donasi ke penerima.
Pertama, sembako adalah barang yang sifatnya tidak likuid, karena nilai uang untuk mendapatkannya akan menurun. Terlebih, ada kemungkinan kualitasnya tidak bagus dan cepat busuk jika penerima bantuan tidak menyimpannya dengan baik.
Kedua, bisa jadi orang yang kita kasih sembako sebenarnya pernah mendapatkan sembako dari pihak lain. Meskipun ada sebagian donatur yang mulai menyeleksi pemberian sembako ini, tetapi seberapa efektif kah hal tersebut? Alasannya karena selain harus berpacu dengan kondisi, donatur juga harus berpacu dengan kualitas sembako yang tidak mungkin ditumpuk atau disimpan dalam waktu lama.
Dari dua poin di atas, ada kemungkinan warga yang pernah mendapat sembako tidak ingin menumpuknya banyak-banyak karena poin pertama tadi. Sehingga, mereka akan menjual sumbangan itu.
Namun, saya sendiri tidak setuju sepenuhnya dengan dua poin tersebut.
Alasannya simpel: kondisi pandemi sekarang ini belum terlihat jelas kapan selesainya. Walaupun ada prediksi waktu berakhirnya wabah ini, masyarakat di akar rumput hanya tahu “gimana mereka bisa makan hari ini”.
Sehingga, apapun bentuk bantuan yang mereka terima, mereka cenderung akan menyimpannya dalam waktu lama. Terlebih, kebanyakan sembako yang diberikan oleh donatur memiliki waktu simpan yang lama.
Selain itu, dari total pengeluaran yang dikeluarkan rumah tangga di Indonesia, sekitar 50 persennya dialokasikan untuk kebutuhan pangan. Saat sebagian besar pendapatan digunakan untuk pengeluaran makanan, maka ganggguan sedikit saja pada pendapatan atau gejolak harga pangan akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk mengakses makanan secara signifikan.
Hasil sensus ekonomi nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2019 menunjukkan, setengah dari 34 provinsi di Indonesia masih memiliki ketahanan pangan yang rendah, di mana pengeluaran rata-rata per kapita untuk pangan lebih besar ketimbang pengeluaran bukan makanan.
Meski begitu, kemungkinan penjualan donasi sembako masih ada karena faktor tertentu. Nah, faktor tersebut yang akan saya bahas setelah ini.
Ada beberapa opini teman saya yang kurang lebih menggambarkan apa yang saya temui di lapangan.
Pertama, warga yang mendapat sembako ini belum tentu memiliki alat yang memadai untuk mengolah bahan-bahan yang mereka terima. Mereka belum tentu memiliki dispenser dan rice cooker, tetapi mereka minimal punya kompor gas. Nah masalahnya, untuk mendapatkan gas 3 kg bersubsidi, mereka harus membelinya. Alhasil, mereka malah harus keluar duit lagi buat mengolah sembako tersebut.
Padahal pengeluaran mereka bisa jadi tak melulu soal pangan. Bisa saja mereka tetap harus membayar kontrakan, memakai kendaraan pribadi karena pembatasan transportasi umum, bayar uang kuliah bagi mereka yang sebelumnya kerja sambil kuliah, membeli kuota internet untuk anaknya yang saat ini masih belajar di rumah, atau jenis pengeluaran lainnya.
Uangnya darimana? Bagi pekerja informal dan harian, mereka mau tak mau tetap bekerja di luar rumah. Gimana dengan korban PHK? Yahh antara memakai uang tabungan, uang yang tersisa di rekening, atau meminjam ke rekan dan sanak saudara.
Bisa saja, mereka menjual sebagian sembako yang mereka terima, agar sebagiannya lagi bisa diolah. Miris, kan?
Sekarang kita bicara soal nilai gizi dari sembakonya. Kebanyakan sembako yang dibagikan cenderung sama: beras, mie instan, gula, minyak goreng, teh, dan lainnya. Semuanya adalah bahan pangan dasar. Sedangkan agar kebutuhan gizi bisa tercapai, minimal tersedia lauk dari sayur-sayuran dan sumber protein.
Patut diingat, tidak semua orang mampu membeli atau membuat lauk yang layak untuk menghabiskan sembako tersebut. Bisa karena orang tersebut belum mampu, bisa juga karena orang tersebut tidak punya alat untuk mengolah bahan pangan tersebut.
Tulisan saya ini dan juga opini dari teman saya di atas tidak mengajarkan kalian untuk tidak bersyukur. Tidak sama sekali. Kita jelas harus mengapresiasi mereka yang telah bergerak menggalang dan menyalurkan bantuan tersebut. Kami salut pada mereka yang mau peduli dan ikut mendukung beberapa kegiatan donasi untuk membantu warga terdampak Covid-19.
Meski saya tidak sepenuhnya setuju dengan opini teman saya, kami sepakat akan satu hal: utamakan variasi bantuan. Bantuan yang bermanfaat, bervariasi isinya, layak, dan bisa sebanyak-banyaknya orang dapatkan.
Berikan variasi pada bantuan yang hendak diberikan. Misalnya uang tunai atau barang lain yang juga sama manfaatnya bagi mereka. Terutama uang, karena kami yakin mereka sangat memerlukannya. Jangan melihat nominalnya berapa. Yang penting adalah variasi bantuannya.
Apakah warga yang terusir dari tempat tinggalnya karena tak sanggup bayar uang kontrakan, benar-benar butuh bantuan sembako saja? Jangan sampai, niat baik dari donatur malah jadi sia-sia karena ternyata bantuan yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi dari penerima donasi itu sendiri.
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengenalkan kalian pada jalur donasi baru yang mungkin kalian belum tahu. Saat ini, sudah ada platform yang menjembatani langsung donatur dengan penerima bantuan. Penerima bantuan di platform ini sudah terkurasi oleh pengelola platform tersebut agar penyaluran bantuan bisa dilakukan secara adil dan tepat sasaran.
Nama platform tersebut adalah Bagi.Rata. Kalian bisa kepo-in sistem donasi yang mereka lakukan di bagirata.id atau melalui media sosialnya di Instagram dan Twitter.
Mau membantu lewat jalur donasi manapun tak masalah, yang penting uluran bantuan dari kalian sangat diperlukan agar masyarakat bisa bertahan melewati masa pandemi ini. Karena bagaimanapun, manusia adalah makhluk sosial, yang juga memerlukan bantuan agar bisa bertahan hidup.


 *) Kolom kontributor ini adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.
--------------------------------------------------------------------------

Ditulis oleh Teddy S Apriana

Plt. Pimpinan Umum Jurasic Man (2015-2016) 

Seorang blogger, content writer, pengamat televisi, dan jurnalis yang nyambi jadi petugas listrik.




Share di Google Plus

About Jurasicman

Jurasic Man (Journalist Association of Polman) adalah salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di Polman Bandung yang menampung minat mahasiswa di bidang jurnalistik.

0 komentar:

Post a Comment