Saat Anda membaca Majalah Pandawa edisi terbaru, apakah Anda
tertarik dengan laporan utama yang kami suguhkan? Bagi yang belum membaca, Anda
bisa membacanya melalui link ini. Masih belum membacanya? Baiklah kami akan
jelaskan sedikit mengenai isu yang kami bahas dalam rubrik Laporan Utama
majalah terbaru kami.
Jadi, kami menyoroti beberapa permasalahan yang terjadi di kalangan organisasi mahasiswa (Ormawa) di Polman Bandung. Dimana terdapat beberapa masalah utama, salah satunya adalah regenerasi pengurus ormawa, yang selalu menjadi cerita dilematis di kalangan mahasiswa Polman Bandung.
Karena Polman Bandung menganut sistem pendidikan 3-2-1 (3 semester kuliah di kampus, 2 semester magang di industri, dan 1 semester mengerjakan tugas akhir di kampus), maka seluruh mahasiswa yang menjalani semester 4 & 5 (2 semester di pertengahan) harus menjalani Program Praktik Industri (PPI), istilah magang di sini. Program tersebut bisa dilakukan di dalam kampus Polman untuk membantu proses produksi, atau di industri luar Polman, baik di industri yang berdomisili di Bandung Raya, atau di luar Bandung Raya (seperti Jababeka, Cikarang, Bekasi, bahkan Yogyakarta). Bagi mahasiswa/i yang sedang tidak terikat dengan program Bidikmisi atau sejenis, program beasiswa (walaupun jarang), yang tidak bermasalah dengan nilai kuliah di semester 3, atau yang mengajukan sendiri untuk menjalani PPI di Polman, maka diperkenankan untuk menjalani PPI di luar Polman. Meskipun demikian, hal tersebut kembali lagi kepada kebijakan jurusan masing-masing.
Masalah pun timbul karena 75% mahasiswa semester 4 menjalani PPI di luar Polman. Padahal, saat semester tersebut, mahasiswa Polman telah berkontribusi dalam Ormawa, khususnya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), selama 1 tahun. Pengalaman tersebut cukup untuk menjadikan mahasiswa/i memasuki tahap pengurus dari Ormawa, berhubung masa kuliah D3 Polman yang hanya 3 tahun. Alhasil, beberapa UKM menjadikan anggotanya yang masih menjalani semester 2, atau masih tingkat 1, menjadi ketua. Meskipun, masih ada beberapa UKM yang memilih mahasiswa tingkat 2 menjadi ketua, dengan catatan mahasiswa tersebut memang menjalani magang di dalam Polman.
Jadi, kami menyoroti beberapa permasalahan yang terjadi di kalangan organisasi mahasiswa (Ormawa) di Polman Bandung. Dimana terdapat beberapa masalah utama, salah satunya adalah regenerasi pengurus ormawa, yang selalu menjadi cerita dilematis di kalangan mahasiswa Polman Bandung.
Karena Polman Bandung menganut sistem pendidikan 3-2-1 (3 semester kuliah di kampus, 2 semester magang di industri, dan 1 semester mengerjakan tugas akhir di kampus), maka seluruh mahasiswa yang menjalani semester 4 & 5 (2 semester di pertengahan) harus menjalani Program Praktik Industri (PPI), istilah magang di sini. Program tersebut bisa dilakukan di dalam kampus Polman untuk membantu proses produksi, atau di industri luar Polman, baik di industri yang berdomisili di Bandung Raya, atau di luar Bandung Raya (seperti Jababeka, Cikarang, Bekasi, bahkan Yogyakarta). Bagi mahasiswa/i yang sedang tidak terikat dengan program Bidikmisi atau sejenis, program beasiswa (walaupun jarang), yang tidak bermasalah dengan nilai kuliah di semester 3, atau yang mengajukan sendiri untuk menjalani PPI di Polman, maka diperkenankan untuk menjalani PPI di luar Polman. Meskipun demikian, hal tersebut kembali lagi kepada kebijakan jurusan masing-masing.
Masalah pun timbul karena 75% mahasiswa semester 4 menjalani PPI di luar Polman. Padahal, saat semester tersebut, mahasiswa Polman telah berkontribusi dalam Ormawa, khususnya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), selama 1 tahun. Pengalaman tersebut cukup untuk menjadikan mahasiswa/i memasuki tahap pengurus dari Ormawa, berhubung masa kuliah D3 Polman yang hanya 3 tahun. Alhasil, beberapa UKM menjadikan anggotanya yang masih menjalani semester 2, atau masih tingkat 1, menjadi ketua. Meskipun, masih ada beberapa UKM yang memilih mahasiswa tingkat 2 menjadi ketua, dengan catatan mahasiswa tersebut memang menjalani magang di dalam Polman.
Sebenarnya, hal tersebut sudah dibahas dalam Pola Umum Kaderisasi
(PUK) yang digagas oleh BEM-KM Polman Bandung di bawah pimpinan M. Nursyam
Rizal kala Kabinet Revolusi tahun 2015 lalu. Saat itu, BEM-KM bersama Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan, Dadan Heryada
Wigenaputra, menyetujui pola kaderisasi organisasi bagi Keluarga Mahasiswa
Polman Bandung.
Dalam PUK, diatur beberapa tahap yang dilalui mahasiswa
Polman Bandung dalam berorganisasi. Mulai dari mengikuti Masa Pengenalan dan
Pembekalan Perkuliahan (MP3), lalu mengikuti Orientasi di jurusan
masing-masing, menjalani masa anggota selama 1 tahun di awal perkuliahan,
menjadi pengurus selama 1 tahun di pertengahan masa kuliah, hingga menjalani
masa demisioner / purna di 1 tahun terakhir kuliah. PUK juga mengatur syarat
dan ketentuan dalam setiap tahapan tersebut.
Ada hal menarik yang kami lihat dalam PUK ini, dimana kata
“HMJ” terus-menerus diulang dalam pembahasan setiap tahap. Kami hampir tidak
menemukan kata “ormawa” atau “UKM” dalam PUK ini. Meskipun tertulis jelas bahwa
PUK ini berlaku di lingkungan Keluarga Mahasiswa Polman Bandung, namun rasanya
janggal jika kandungan di dalamnya lebih mengatur kaderisasi di lingkungan HMJ
saja. Saat Redaksi Jurasic Man mengonfirmasi temuan tersebut
kepada Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan, beliau baru menyadari hal tersebut.
“PUK itu harusnya berlaku untuk seluruh Ormawa, tak terkecuali UKM,” pungkas
beliau saat ditemui di ruangannya, Rabu (29/3/2017).
Pendapat berbeda kami temui saat meminta penjelasan dari
BEM-KM Polman Bandung selaku inisiator pembentukan PUK. Fitri Nurasiah, anggota
Kementerian Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM), mengatakan bahwa PUK
tersebut awalnya ditujukan untuk mengatur pola kaderisasi di lingkungan HMJ.
Setelah mengetahui tanggapan Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan atas temuan
kami, Fitri mengatakan BEM-KM akan menindaklanjuti dan membahas hal tersebut.
“Bisa saja, kami akan melakukan revisi. Namun, kami ingin memastikan temuan
tersebut kepada beliau (Dadan Heryada W., red), terutama soal pemberlakuan PUK
kala WD3 baru sudah menjabat,” tambah Fitri.
Kesalahpahaman, inilah permasalahan yang bisa kami lihat
dari perbedaan pendapat antara BEM-KM dan Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan
mengenai obyek pelaksanaan PUK. Bisa jadi, inilah yang menyebabkan UKM merasa tidak
perlu untuk mengikuti PUK yang telah disepakati oleh BEM-KM, HMJ, dan WD3,
karena hampir tidak adanya kata UKM dalam obyek pelaksanaan PUK. Tak adanya
sosialisasi pun turut memperparah masalah ini. Sehingga, dalam 3 tahun
terakhir, UKM-UKM di Polman Bandung lebih memiliih untuk menjadikan mahasiswa
tingkat 1 sebagai ketua.
Bukannya tidak mempercayai mahasiswa tingkat 1 sebagai ketua
ormawa, namun memang dari kesepakatan yang dicapai, telah ditentukan seperti
itu. Lagipula, apakah baik jika memimpin sebuah organisasi dengan berbekal
sedikit pengalaman berpartisipasi di organisasi tersebut? Kecuali, jika
mahasiswa sudah mendapatkan pengalaman dari organisasi sejenis di luar kampus,
kami rasa itu cukup baik. Karena kampus kita tercinta ini masih kekurangan
pembina yang kompeten dalam membimbing UKM yang dibinanya. Buktinya, coba tanya
kepada diri sendiri, pernahkah pembina UKM kita menanyakan kegiatan yang sedang
dilakukan? Jika pernah, setiap berapa kali? Jawab saja dalam hati.
Manfaatkan kesempatan terakhir kita untuk mengasah softskill
di lingkungan kampus. Tunjukkan kepedulian kepada mahasiswa tingkat 1 yang
masih mencari “jati diri” di kampus Kanayakan ini melalui organisasi. Mari
bersama-sama memperbaiki kekurangan kita dalam berorganisasi agar kegiatan
kemahasiswaan di kampus Kanayakan ini bisa bangkit kembali.
Sebagai penutup, kami ingin menginformasikan bahwa artikel
ini adalah artikel editorial, dimana artikel ini merupakan pendapat dari tim
redaksi kami mengenai suatu hal yang perlu dibahas. Harusnya, paragraf ini
tidak ada. Namun, untuk saat ini kami merasa perlu untuk menambahkannya agar
tak terulang kembali kejadian yang “sama”. Sekian. Salam Pers Mahasiswa!
0 komentar:
Post a Comment