Calon wisudawan kampus Kanayakan tahun ini tiba-tiba digemparkan dengan isu adanya perubahan rencana pelaksanaan wisuda yang awalnya diumumkan tanggal 30 September 2017 di kawasan Lembah Rekawanawaluya menjadi 3 Oktober 2017 di gedung Sabuga, Tamansari. Sontak, perwakilan wisudawan pun berembug untuk meminta transparansi terkait isu tersebut. Hal pertama yang mereka lakukan adalah menemui ketua pelaksana Wisuda 2017. Hal tersebut terlaksana pada hari Senin lalu (21/8.2017). Kemudian dilanjutkan dengan audiensi dengan direksi di Auditorium Rinekamaya sehari setelahnya (22/8/2017). Audiensi tersebut dihadiri oleh pihak direksi, yang saat itu diwakili oleh Wakil Direktur Bidang Akademik, didampingi oleh Kepala BAA dan Kepala Sub. Bagian Umum, dan Bu Emma selaku ketua pelaksana.
Berdasarkan alasan-alasan yang dijelaskan oleh institusi mengenai perubahan rencana pelaksanaan wisuda tahun ini, kami menangkap masalah utamanya adalah adanya penolakan warta sekitar Kanayakan, khususnya warga kompleks dosen ITB. Alasan penolakan tersebut ada 3, pertama karena masalah parkir yang meluber, kedua karena kemacetan yang ditimbulkan, dan ketiga karena beberapa keluarga wisudawan yang membuang sampah sembarangan di kawasan Kanayakan. Selain itu, alasan waktu pelaksanaan wisuda menjadi tanggal 3 Oktober karena pihak institusi terlambat untuk booking gedung Sabuga pada tanggal 30 September yang sudah keduluan oleh Unikom, yang pelaksanaan wisudanya juga diundur dari jadwal semula.
Setelah mendengar penjelasan dari institusi, dalam audiensi tersebut, aspirasi dari perwakilan calon wisudawan juga turut diperdengarkan. Berbagai aspirasi dari calon wisudawan yang menolak rencana tersebut adalah karena perubahannya tiba-tiba sehingga berpengaruh pada pengajuan izin cuti orang tua, waktu pelaksanaannya di hari kerja, hingga tradisi mahasiswa Kanayakan 21 yang sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Bahkan salah satu HMJ menyerahkan lembaran berisi pernyataan keberatan mereka akan perubahan rencana tersebut. Walaupun calon wisudawan yang datang saat itu kebanyakan dari jurusan tertentu karena kesibukan masing-masing. Sehingga, aspirasi yang muncul rata-rata berasal dari wisudawan dari jurusan yang mayoritas datang saat itu.
Bu Emma menanggapi lembaran keberatan yang diterimanya sebelum audiensi. "Intinya, dari keberatan kalian ini kok saya belum menangkap apakah kalian merasa kesulitan dari segi transportasi, atau penyedian tempat parkir?"
Dalam audiensi ini juga, mulai muncul berbagai solusi yang ditawarkan oleh calon wisudawan. Salah satunya adalah kerjasama dengan HMJ dalam membantu kelancaran acara wisuda, mulai dari pengelolaan kantong parkir, sampai ke penyediaan shuttle bagi orang tua wisudawan.
Audiensi tersebut diakhiri dengan harapan institusi yang disampaikan oleh Pak Beny, Wakil Direktur Akademik."Saya harap, Anda (calon wisudawan, red) bisa lebih peduli terhadap lingkungan sekitar, termasuk kesulitan-kesulitan yang muncul di lingkungan. Serta tidak menyerahkan kesulitan tersebut sepenuhnya kepada institusi," kata beliau.
Setelah audiensi selasa itu, selanjutnya pihak institusi berkoordinasi dengan perwakilan wisudawan dan HMJ. Hingga hasilnya, cerita menegangkan ini pun berakhir bahagia, seperti akhir cerita film 5 cm yang masing-masing tokoh utamanya mendapat jodohnya masing-masing. Rencana pelaksanaan wisuda kembali ke rencana awal. Perubahan tersebut dikuatkan dengan rilisnya surat pengumuman dengan tanda tangan Wakil Direktur Akademik pada hari Rabu ini (30/8/2017). Segala aspirasi yang disampaikan oleh calon wisudawan akhirnya berhasil mengubah kebijakan perubahan rencana sebelumnya.
Dari cerita menegangkan soal wisuda ini, ada yang menarik dari pernyataan yang disampaikan oleh mantan Presiden KM 2016-2017, Dhani Rhamadani, dalam audiensi bersama direksi kala itu.
"Apakah ada jaminan wisudawan tahun ini tidak membawa kendaraan pribadi ke Polman? Saya rasa hal ini tidak bisa dibandingkan antara tahun lalu dan tahun sekarang. Tahun lalu, wisudawan sudah nyaman-nyaman saja mengadakan wisuda di sini (di Polman, red) sehingga tidak ada penekanan kepada mereka bahwa keluarganya tidak direkomendasikan membawa mobil ke Polman. Tapi kondisi kali ini beda. Ini dimulai dari diri kami sendiri. Kami benar-benar butuh diwisuda di Polman sehingga kami harus terima konsekuensi keluarga kami tidak membawa mobil ke Polman. Saya rasa penekanannya akan berbeda kalau seperti itu," tutur Dhani.
Kami ingin menggarisbawahi kata "benar-benar butuh" dari pernyataan Dhani di atas. Mungkin maksud dia saat itu adalah ingin, karena definisi ingin dan butuh jelas berbeda. Penggunaan kata "butuh" ini seakan bermakna pelaksanaan wisuda di Polman sudah menjadi kebutuhan dengan urgensi yang tinggi bagi mahasiswa kita. Kami pun bertanya pada diri kami sendiri, "Butuhkah kami untuk diwisuda di kampus kami tercinta ini?".
Jika mempertimbangkan alasan yang disampaikan oleh pihak institusi, mulai dari penolakan warga Kompleks ITB (bahkan sampai ada ancaman penutupan jalan), hingga keduluannya kampus kita oleh kampus lain dalam booking gedung Sabuga, alasan-alasan tersebut realistis. Apalagi, penolakan warga tersebut sudah mulai terlihat sejak pelaksanaan wisuda 2 tahun terakhir.
Dari alasan-alasan tersebut, kami bisa menangkap kondisi institusi saat itu sedang dirundung dilema. Jika wisudanya di dalam kampus, ditolak warga sekitar. Tapi jika wisudanya diluar, diprotes sama calon wisudawan. Dilema yang sama seperti dilema hati dalam menghadapi kenyataan bahwa mantan kekasih sudah memilih tambatan hati yang lain, sedangkan hati ini masih ingin berusaha balikan dengan sang pujaan hati. Duh, kok kami jadi baper gini yah??
Kembali ke pembahasan. Pertimbangan tersebut berakhir ketika kami mendengar aspirasi yang disampaikan oleh salah satu perwakilan wisudawan yang disampaikan dengan emosional. Faktor emosional, inilah kemungkinan yang membuat "keinginan" tersebut rasanya menjadi sebuah "kebutuhan" bagi kita. Bisa dibilang, diwisuda di Polman sudah menjadi tradisi turun menurun dan sudah mendarah daging di civitas akademika kita. Pagi, diwisuda oleh kampus, lalu siangnya diarak oleh mahasiswa junior, dan dilanjutkan dengan perpisahan oleh jurusan masing-masing. Tradisi tersebut seakan sudah menjadi ikatan emosional tersendiri bagi kalangan mahasiswa kita. Walaupun pihak Polman pernah mengadakan kegiatan wisuda di Dago Tea House, namun kami tidak tahu apakah ada gelombang penolakan yang sama seperti tahun ini.
Inilah bukti bahwa ragam tradisi kampus harus diperhatikan betul oleh pihak institusi sebelum memutuskan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan mahasiswa. Terlebih, keputusan perubahan rencana wisuda ini tidak diketahui oleh Presiden KM, M. Dhiaffaturahman, selaku perwakilan "resmi" mahasiswa. Hal tersebut kami tanyakan sebelum kami mewawancarai ketua pelaksana wisuda di Gedung Rinekamaya. Sayang, alasan-alasan realistis yang disampaikan oleh pihak institusi terlambat diberitahukan kepada perwakilan mahasiswa, sehingga kesannya informasi yang diterima oleh calon wisudawan datang dadakan.
Berbicara soal dadakan, ada hal terakhir yang kami ingin bahas, Robi, salah satu perwakilan wisudawan, mengeluhkan informasi dari pihak Polman yang selalu serba mendadak dan mahasiswa selalu "dipaksa" untuk menuruti saja. Keluhan tersebut disampaikan saat bertemu ketua pelaksana wisuda hari Senin sebelum audiensi.
"Memang, di setiap kalangan satgas (satuan tugas, red) atau kepanitiaan di institusi, selalu ada slogan, Dadakan Ciri Kami. Walaupun persiapan sudah dilakukan tanpa dadakan, tapi sering kali mereka keteteran saat mengerjakan hal tersebut," begitu penuturan Bu Emma, selaku ketua pelaksana wisuda.
Mungkin inilah yang menjadi penyebab mengapa informasi yang disampaikan oleh pihak Polman selalu mendadak, seperti tahu bulat yang digoreng dadakan lima ratusan nyoy nyoy. Tentu saja, tidak menutup kemungkinan ada alasan lain yang menyebabkan informasi yang datang ke mahasiswa datang terlambat.
Semoga dengan adanya kejadian seperti ini, dapat menyadarkan pihak institusi untuk bekerja tanpa memakai prinsip deadliner, "kekuatan terbesar saat mengerjakan tugas muncul saat mendekati deadline." Hmmm sepertinya ini prinsip yang sama seperti yang kita sendiri kadang lakukan saat mengerjakan laporan praktikum mingguan. Akui saja lah bro hehe
Terlepas dari alasan perubahan rencana wisuda yang disampaikan oleh pihak direksi, aspirasi dan keinginan calon wisudawan, harapan untuk wisuda tahun ini, akhir perjuangan calon wisudawan, serta alasan informasi yang selalu "dadakan kayak tahu bulat", ada hal yang harus kita petik dari kejadian ini. Kita semua, baik mahasiswa dan pihak institusi, harus bersama-sama menciptakan suasana bermasyarakat yang rukun saat mengadakan sebuah kegiatan kampus. Kampus kita dikelilingi oleh lingkungan perumahan, maka kita sendiri harus bisa menjaga ketertiban dan kerukunan sebagai sesama penghuni kawasan Kanayakan ini.
Kami mengutip ucapan terakhir Pak Beny, Wakil Direktur Akademik, saat mengakhiri audiensi bersama calon wisudawan hari Selasa itu. "Menerima sebuah perubahan memang tidak mudah, namun suatu hari pasti Anda akan menghadapi ini. Kalau memang sudah harus berubah, yah berubah. Jangan sampai kita terlalu nyaman dengan kondisi tertentu. Padahal kalau kita berubah, mungkin kita bisa jadi lebih baik. Sebuah perubahan bukan berarti buruk. Kalau memang untuk menjadi lebih baik, walaupun tidak nyaman, yah mau tak mau dari harus diterima."
Memang, perubahan tidak selamanya baik. Namun, kita bisa mengupayakan perubahan tersebut menjadi baik jika dukungan di dalam dan di luarnya berjalan dengan baik, salah satunya dalam mengusahakan kerukunan di dalam kampus. Salah satu indikator kerukunan di dalam kampus yang baik adalah terjalinnya komunikasi dua arah yang baik antara mahasiswa dan pihak institusi, dimana pihak institusi tidak semata-mata memberikan alasan "biar berani beda" dan alasan tersebut harus diterima oleh mahasiswa, serta mahasiswanya dapat menyampaikan aspirasi secara kritis namun padat akan solusi.
Bisa dibilang, ekskalasi perubahan di kalangan kita sedang terbentuk saat ini, yaitu perubahan cara komunikasi antara institusi dan mahasiswa dari yang awalnya terkesan satu arah menjadi dua arah. Semoga ekskalasi ini dapat mengarah ke dampak positif bagi kita semua.
Berdasarkan alasan-alasan yang dijelaskan oleh institusi mengenai perubahan rencana pelaksanaan wisuda tahun ini, kami menangkap masalah utamanya adalah adanya penolakan warta sekitar Kanayakan, khususnya warga kompleks dosen ITB. Alasan penolakan tersebut ada 3, pertama karena masalah parkir yang meluber, kedua karena kemacetan yang ditimbulkan, dan ketiga karena beberapa keluarga wisudawan yang membuang sampah sembarangan di kawasan Kanayakan. Selain itu, alasan waktu pelaksanaan wisuda menjadi tanggal 3 Oktober karena pihak institusi terlambat untuk booking gedung Sabuga pada tanggal 30 September yang sudah keduluan oleh Unikom, yang pelaksanaan wisudanya juga diundur dari jadwal semula.
Setelah mendengar penjelasan dari institusi, dalam audiensi tersebut, aspirasi dari perwakilan calon wisudawan juga turut diperdengarkan. Berbagai aspirasi dari calon wisudawan yang menolak rencana tersebut adalah karena perubahannya tiba-tiba sehingga berpengaruh pada pengajuan izin cuti orang tua, waktu pelaksanaannya di hari kerja, hingga tradisi mahasiswa Kanayakan 21 yang sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Bahkan salah satu HMJ menyerahkan lembaran berisi pernyataan keberatan mereka akan perubahan rencana tersebut. Walaupun calon wisudawan yang datang saat itu kebanyakan dari jurusan tertentu karena kesibukan masing-masing. Sehingga, aspirasi yang muncul rata-rata berasal dari wisudawan dari jurusan yang mayoritas datang saat itu.
Bu Emma menanggapi lembaran keberatan yang diterimanya sebelum audiensi. "Intinya, dari keberatan kalian ini kok saya belum menangkap apakah kalian merasa kesulitan dari segi transportasi, atau penyedian tempat parkir?"
Dalam audiensi ini juga, mulai muncul berbagai solusi yang ditawarkan oleh calon wisudawan. Salah satunya adalah kerjasama dengan HMJ dalam membantu kelancaran acara wisuda, mulai dari pengelolaan kantong parkir, sampai ke penyediaan shuttle bagi orang tua wisudawan.
Audiensi tersebut diakhiri dengan harapan institusi yang disampaikan oleh Pak Beny, Wakil Direktur Akademik."Saya harap, Anda (calon wisudawan, red) bisa lebih peduli terhadap lingkungan sekitar, termasuk kesulitan-kesulitan yang muncul di lingkungan. Serta tidak menyerahkan kesulitan tersebut sepenuhnya kepada institusi," kata beliau.
Setelah audiensi selasa itu, selanjutnya pihak institusi berkoordinasi dengan perwakilan wisudawan dan HMJ. Hingga hasilnya, cerita menegangkan ini pun berakhir bahagia, seperti akhir cerita film 5 cm yang masing-masing tokoh utamanya mendapat jodohnya masing-masing. Rencana pelaksanaan wisuda kembali ke rencana awal. Perubahan tersebut dikuatkan dengan rilisnya surat pengumuman dengan tanda tangan Wakil Direktur Akademik pada hari Rabu ini (30/8/2017). Segala aspirasi yang disampaikan oleh calon wisudawan akhirnya berhasil mengubah kebijakan perubahan rencana sebelumnya.
Dari cerita menegangkan soal wisuda ini, ada yang menarik dari pernyataan yang disampaikan oleh mantan Presiden KM 2016-2017, Dhani Rhamadani, dalam audiensi bersama direksi kala itu.
"Apakah ada jaminan wisudawan tahun ini tidak membawa kendaraan pribadi ke Polman? Saya rasa hal ini tidak bisa dibandingkan antara tahun lalu dan tahun sekarang. Tahun lalu, wisudawan sudah nyaman-nyaman saja mengadakan wisuda di sini (di Polman, red) sehingga tidak ada penekanan kepada mereka bahwa keluarganya tidak direkomendasikan membawa mobil ke Polman. Tapi kondisi kali ini beda. Ini dimulai dari diri kami sendiri. Kami benar-benar butuh diwisuda di Polman sehingga kami harus terima konsekuensi keluarga kami tidak membawa mobil ke Polman. Saya rasa penekanannya akan berbeda kalau seperti itu," tutur Dhani.
Kami ingin menggarisbawahi kata "benar-benar butuh" dari pernyataan Dhani di atas. Mungkin maksud dia saat itu adalah ingin, karena definisi ingin dan butuh jelas berbeda. Penggunaan kata "butuh" ini seakan bermakna pelaksanaan wisuda di Polman sudah menjadi kebutuhan dengan urgensi yang tinggi bagi mahasiswa kita. Kami pun bertanya pada diri kami sendiri, "Butuhkah kami untuk diwisuda di kampus kami tercinta ini?".
Jika mempertimbangkan alasan yang disampaikan oleh pihak institusi, mulai dari penolakan warga Kompleks ITB (bahkan sampai ada ancaman penutupan jalan), hingga keduluannya kampus kita oleh kampus lain dalam booking gedung Sabuga, alasan-alasan tersebut realistis. Apalagi, penolakan warga tersebut sudah mulai terlihat sejak pelaksanaan wisuda 2 tahun terakhir.
Dari alasan-alasan tersebut, kami bisa menangkap kondisi institusi saat itu sedang dirundung dilema. Jika wisudanya di dalam kampus, ditolak warga sekitar. Tapi jika wisudanya diluar, diprotes sama calon wisudawan. Dilema yang sama seperti dilema hati dalam menghadapi kenyataan bahwa mantan kekasih sudah memilih tambatan hati yang lain, sedangkan hati ini masih ingin berusaha balikan dengan sang pujaan hati. Duh, kok kami jadi baper gini yah??
Kembali ke pembahasan. Pertimbangan tersebut berakhir ketika kami mendengar aspirasi yang disampaikan oleh salah satu perwakilan wisudawan yang disampaikan dengan emosional. Faktor emosional, inilah kemungkinan yang membuat "keinginan" tersebut rasanya menjadi sebuah "kebutuhan" bagi kita. Bisa dibilang, diwisuda di Polman sudah menjadi tradisi turun menurun dan sudah mendarah daging di civitas akademika kita. Pagi, diwisuda oleh kampus, lalu siangnya diarak oleh mahasiswa junior, dan dilanjutkan dengan perpisahan oleh jurusan masing-masing. Tradisi tersebut seakan sudah menjadi ikatan emosional tersendiri bagi kalangan mahasiswa kita. Walaupun pihak Polman pernah mengadakan kegiatan wisuda di Dago Tea House, namun kami tidak tahu apakah ada gelombang penolakan yang sama seperti tahun ini.
Inilah bukti bahwa ragam tradisi kampus harus diperhatikan betul oleh pihak institusi sebelum memutuskan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan mahasiswa. Terlebih, keputusan perubahan rencana wisuda ini tidak diketahui oleh Presiden KM, M. Dhiaffaturahman, selaku perwakilan "resmi" mahasiswa. Hal tersebut kami tanyakan sebelum kami mewawancarai ketua pelaksana wisuda di Gedung Rinekamaya. Sayang, alasan-alasan realistis yang disampaikan oleh pihak institusi terlambat diberitahukan kepada perwakilan mahasiswa, sehingga kesannya informasi yang diterima oleh calon wisudawan datang dadakan.
Berbicara soal dadakan, ada hal terakhir yang kami ingin bahas, Robi, salah satu perwakilan wisudawan, mengeluhkan informasi dari pihak Polman yang selalu serba mendadak dan mahasiswa selalu "dipaksa" untuk menuruti saja. Keluhan tersebut disampaikan saat bertemu ketua pelaksana wisuda hari Senin sebelum audiensi.
"Memang, di setiap kalangan satgas (satuan tugas, red) atau kepanitiaan di institusi, selalu ada slogan, Dadakan Ciri Kami. Walaupun persiapan sudah dilakukan tanpa dadakan, tapi sering kali mereka keteteran saat mengerjakan hal tersebut," begitu penuturan Bu Emma, selaku ketua pelaksana wisuda.
Mungkin inilah yang menjadi penyebab mengapa informasi yang disampaikan oleh pihak Polman selalu mendadak, seperti tahu bulat yang digoreng dadakan lima ratusan nyoy nyoy. Tentu saja, tidak menutup kemungkinan ada alasan lain yang menyebabkan informasi yang datang ke mahasiswa datang terlambat.
Semoga dengan adanya kejadian seperti ini, dapat menyadarkan pihak institusi untuk bekerja tanpa memakai prinsip deadliner, "kekuatan terbesar saat mengerjakan tugas muncul saat mendekati deadline." Hmmm sepertinya ini prinsip yang sama seperti yang kita sendiri kadang lakukan saat mengerjakan laporan praktikum mingguan. Akui saja lah bro hehe
Terlepas dari alasan perubahan rencana wisuda yang disampaikan oleh pihak direksi, aspirasi dan keinginan calon wisudawan, harapan untuk wisuda tahun ini, akhir perjuangan calon wisudawan, serta alasan informasi yang selalu "dadakan kayak tahu bulat", ada hal yang harus kita petik dari kejadian ini. Kita semua, baik mahasiswa dan pihak institusi, harus bersama-sama menciptakan suasana bermasyarakat yang rukun saat mengadakan sebuah kegiatan kampus. Kampus kita dikelilingi oleh lingkungan perumahan, maka kita sendiri harus bisa menjaga ketertiban dan kerukunan sebagai sesama penghuni kawasan Kanayakan ini.
Kami mengutip ucapan terakhir Pak Beny, Wakil Direktur Akademik, saat mengakhiri audiensi bersama calon wisudawan hari Selasa itu. "Menerima sebuah perubahan memang tidak mudah, namun suatu hari pasti Anda akan menghadapi ini. Kalau memang sudah harus berubah, yah berubah. Jangan sampai kita terlalu nyaman dengan kondisi tertentu. Padahal kalau kita berubah, mungkin kita bisa jadi lebih baik. Sebuah perubahan bukan berarti buruk. Kalau memang untuk menjadi lebih baik, walaupun tidak nyaman, yah mau tak mau dari harus diterima."
Memang, perubahan tidak selamanya baik. Namun, kita bisa mengupayakan perubahan tersebut menjadi baik jika dukungan di dalam dan di luarnya berjalan dengan baik, salah satunya dalam mengusahakan kerukunan di dalam kampus. Salah satu indikator kerukunan di dalam kampus yang baik adalah terjalinnya komunikasi dua arah yang baik antara mahasiswa dan pihak institusi, dimana pihak institusi tidak semata-mata memberikan alasan "biar berani beda" dan alasan tersebut harus diterima oleh mahasiswa, serta mahasiswanya dapat menyampaikan aspirasi secara kritis namun padat akan solusi.
Bisa dibilang, ekskalasi perubahan di kalangan kita sedang terbentuk saat ini, yaitu perubahan cara komunikasi antara institusi dan mahasiswa dari yang awalnya terkesan satu arah menjadi dua arah. Semoga ekskalasi ini dapat mengarah ke dampak positif bagi kita semua.
0 komentar:
Post a Comment